Cakap(bahasa) Karo adalah bahasa dan dialek yang dipergunakan oleh masyarakat suku Karo. Karo adalah salah satu suku asli yang mendiami Sumatera bagian utara, timur, dan tengah, yang kemunculannya telah teridentifikasi setidaknya diawal memasuki tahun <asehi, atau behkan jauh dari itu keberadaan Karo ini diperkirakan telah ada(sebelum Masehi), sehingga jika ditinjau daari aspek ruang dan waktu, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan Karo adalah salah satu Melayu Tua dari Sumatera, serta Batak tertua (kata batak awalnya dipakai penjelajah asing untuk menunjuk etnis yang tidak teridentifikasi di Sumatera bagian timur, tengah, dan utara yang kemudian dipakai oleh Belanda dimasa kolonial untuk menyederhanakan dalam proses regristrasi, administrasi, dan identifikasi terhadap suku bangsa dan negeri-negeri non-Melayu di Sumatera bagian utara).
Jika kita berpaling pada catatan-catatan sejarah keberadaan suku Karo dan salah satu kerajaan Karo kuno(Kerajaan Aru/Haru), maka dapatlah kita berasumsi kalau cakap Karo juga tulisen Karo(Surat Aru) merupakan bahasa dan aksara resmi yang dipergunakan di wilayah Sumatera bagian tengah, timur, dan utara(wilayah Kerajaan Aru), atau setidaknya bahasa paling sering muncul dalam setiap interaksi masyarakat, baik politik, kontrak, pergaulan, dan perdagangan. Hal ini mendapat konfirmasi dari nama-nama serta merga(marga) dari para penduduk serta raja-raja dan bangsawan, serta daerah(wilayah) di Sumatera bagian tengah, timur, dan utara hingga ke Aceh yang mengadung makna dan artian dari cakap Karo, serta beberapa sastra klasik baik lisan maupun tulisan dalam cakap dan tulisen Karo. Dan, juga kita ketahui kalau secara konkrik, mulai akhir tahun 1880-an segala urusan ke-batakan dan penunjukan kontrolir serta hukum di Dusun(Karo Jahe/Deli-Serdang) disusun dalam cakap(bahasa) Karo. September 1909, sultan Deli menandatangani adat (hukum) peradilan Dusun yang diselenggarakan oleh Westenberg(kontrolir) yang atas permintaan para pemimpin di Dusun diterjemahkan dalam cakap Karo, dan, hal ini menunjukkan seberapa penting posisi Karo, aksara, dan bahasanya pada masa-masa itu.
Ditinjau dari fungsi ataupun tempat pemakaiannya, cakap Karo dibagi dalam tiga bagian yang didalamnya meliputi: dialek, intonasi, arti kata, serta pemilihan katanya. Adapun ketiga pengkatagorian itu meliputi:
1. Cakap bas peradaten(bahasa dalam peradatan),
2. Cakap(bahasa) sirulo, cakap jambur(sehari-hari)
3. Cakap bas kiniteken(keagamaan/spiritual).
Dan, jika ditinjau dari dialek-nya, maka cakap Karo juga dibagi atas tujuh(7) dialek yang juga didasarkan pada tujuh pembagian wilayah adat Karo. Jika kita memaknai kata tujuh pembagian wilayah adat Karo, maka tentunya dapat ditarik kesimpulan kalau yang berbeda disini bukan hanya dialek saja, tetapi juga meliputi arti dari beberapa kata, juga hingga ke masalah peradatannya. Adapun ketujuh pembagian wilayah adat yang juga mempengaruhi dalam perbedaan dialek cakap Karo, yakni:
1. Gugung/teruh deleng: Kuta Buluh, Tiga Nderket
2. Karo Timur: Cingkes, Gunung Meriah, Bangun Purba, hingga ke Simalungun, dll;
3. Karo Jahé/Karo Dusun(Deli-Serdang): Lau Cin/Namo Gajah, Delitua, Sibolangit, Pancur Batu, Senembah-Patumbak, dll;
4. Karo Langkat/Karo Bingé: Nambiki, Langkat, Serbanaman Sunggal, Tanjung Manggusta, dll;
5. Singalur Lau: Tiga Binanga, Juhar, dll;
6. Karo Baluren/Pamah Sigedang(Kab. Dairi);
7. Karo Urung Julu.
Namun, para ahli bahasa Karo membedakan dialek Karo itu dalam tiga garis besar perbedaan dialek Karo, yakni:
1. Dialek Gugung
2. Dialek Kabanjahe, dan
3. Dialek Karo Jahe.
Bersambung…